MANIFESTO, JAKARTA– Keputusan Presiden Turki Recep Tayyib Erdogan mengonversi Hagia Sophia menjadi Masjid menimbulkan kontroversi di dalam dan luar negeri.
Pengembalian fungsi Hagia Sophia sebagai masjid berlangsung di tengah Turki dilanda masalah ekonomi. Peningkatan pengangguran dan turunnya nilai mata uang Lira jadi masalah yang harus diselesaikan Erdogan. Kondisi ini masih diperparah pandemi covid-19.
Erdogan mengambil langkah konversi Hagia Sophia yang pengkritik luar negeri sebut pelarian dari masalah ekonomi. Tetapi ada suara dari oposisi Turki yang malah menentang itu.
“Hagia Sophia adalah warisan dunia, sebuah karya manusia yang luar biasa. Apa perlu memulai debat sekarang? Ketika 97 persen sektor pariwisata beku, hotel tutup dan ratusan ribu orang jadi pengangguran,” kata Wali Kota Istanbul sekaligus anggota partai oposisi Turki, Ekrem Imamoglu dilansir dari Republika, Selasa 14 Juli 2020.
Pernyataan itu disampaikan Imamoglu sebulan sebelum Erdogan resmi mengumumkan konversi Hagia Sophia. Untuk saat ini, oposisi Turki belum mengeluarkan pernyataan resmi apapun.
Tapi nampaknya pihak oposisi pragmatis mendukung kebijakan yang bisa mendorong ekonomi lagi. Asisten professor Brooklyn College, Louis Fishman menyoroti kampanye Erdogan mengembalikan Hagia Sophia menjadi Masjid didukung atas dasar nasionalisme. Erdogan bersiasat cantik dengan mengusung narasi kedaulatan Turki atas Hagia Sophia.
“Turki adalah negara dimana agama dan nasionalisme bertemu, jadi banyak gerakan anti-Erdogan malah mendukung prinsip kedaulatan Turki terhadap monumen itu (atas dasar nasionalisme),” ujar Fishman.
Lalu bagaimana suara umat Kristen Turki?. Mereka cenderung lebih memilih diam karena dianggap tak punya kekuatan politik.
“Ini bukan tentang kami (Kristen di Turki), bukan juga tentang menentang agenda konversi jadi Masjid seperti reaksi keras menentangnya di Turki dan luar negeri,” kata keturunan Turki penganut Kristen, Ziya Meral yang juga peneliti konflik tinggal di Inggris.
Meral menyebut jika isunya tentang Kristen maka harusnya komunitas dunia mempertimbangkan bagaimana melindungi masa depan sekitar 100 ribu penganut Kristen di Turki.
“Tragedi yang harusnya membuat duka adalah mengapa geraja kian kosong dan mengapa warisan Kristen di Anatolia tidak ada yang menghidupkan,” ucap Meral.
Editor: Azhar